Sekitar tahun 1840-an, orang Eropa menggusarkan orang Cina karena merampas wilayah-wilayah tertentu Cina. Semuanya bermula dari apa yang dinamakan “Perang Candu”, yang dilancarkan oleh Inggris, yang mengakibatkan lahirnya Perjanjian Nanking. Dengan perjanjian ini, Cina dipaksa membuka pelabuhannya di Canton, Amou, Foochow, Nigpow dan Shanghai untuk perdagangan, sedangkan Hong Kong diserahkan kepada Inggris. Menyusullah perjanjian-perjanjian lain yang merupakan usaha bangsa-bangsa Barat untuk memperoleh keuntungan lebih jauh lagi –dan wilayah baru – dari Cina. Sementara kekuatan-kekuatan ini, dengan pukulan-pukulan mereka dari luar, memperlemah prestise Dinasti Manchu dan struktus kekaisaran, suatu pemberontakan mengancam pemerintahan Manchu dari dalam. Karena tidak puas terhadap cara Manchu menangani urusan politik Cina, dan sebagai reaksi terhadap perjanjian-perjanjian dengan pihak asing itu, meletuslah pemberontakan Taiping (1850-1864), yang disusul oleh kekacauan-kekacauan lebih jauh lagi di dalam negeri.
Kebencian mendalam terhadap orang asing menyebar luas, juga terhadap para misonaris sekalipun. Hal ini disusul oleh munculnya usaha pada akhir abad ke-19 untuk mengusir orang asing sekali untuk seterusnya. Menghadapi pergolakan yang kian meningkat, partai-partai yang berkuasa di Cina memerintahkan pembentukan kembali satuan-satuan milisi desa. Banyak biang onar di desa-desa bergabung ke dalam kelompok milisi dan diberbagai tempat terbentuklah kelompok-kelompok bawah tanah. Anggota kelompok semacam itu melakukan upacara-upacara yang menurut kepercayaan mereka dapat membuat mereka kebal terhadap peluru. Kelompok pemberontak ini kemudian dikenal oelh orang-orang asing sebagai ‘Kaum Boxer’, berarti: Tinju Keselarasan yang Adil. Pada musim gugur tahun 1899 kaum Boxer mulai menganiaya orang Kristen yang mereka anggap sebagai “warga negara kelas dua dan setan asing.”
Sejak awal pemberontakan para misionaris sudah merasakan dahsyatnya amukan kaum pemberontak dan beberapa dari mereka terbunuh, antara lain Uskup Grassi dan Fogolla, tujuh orang suster Fransiskanes Maria, dua orang imam Fransiskan dan banyak orang Cina Kristen. Beberapa orang berhasil melarikan diri pada waktunya. Tetapi sahabat-sahabat misi di Italia tidak memperoleh berita yang dapat dipercaya mengenai situasi yang sebenarnya, sehingga mereka menjadi cemas akan nasib dan keamanan kedua anggota Xaverian itu. Pada awal Juli berita dari Shanghai bahwa suatu pemberontakan telah terjadi di Cina diterima di berbagai bagian dunia lainnya. Namun, meskipun peristiwa yang terjadi di Tai-yuang-fu dan Beijing memang diberitakan, tidak ada rincian lebih lanjut.
Bersambung…
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar Anda di sini. Terima kasih dan Tuhan memberkati Anda selalu