Tu mi hai chiamato, Ecce Ego Mitte Me. Engkau telah memanggil aku, ini aku utuslah aku. Hormati sebagai pangeran dan cintai sebagai saudara. Caritas Christi Urget Nos. Kasih Kristus yang mendorong kami

Sabtu, 02 April 2011

Kebesaran Hati seorang Bapa


             Karena informasi yang belum jelas mengenai kedua saudaranya yang berada di Cina, Conforti merasa perlu memberikan peneguhan kepada para Xaverian muda yang masih mengenyam pendidikan di Parma. Dengan kebesaran hati seorang bapa, Conforti mempersiapkan suatu pertemuan bersama anggota serikatnya itu.
            Kepada para misionaris muda yang berkumpul pada musim dingin di Villa Picedi di Mariano, Conforti berbicara mengenai kemartiran. “Alangkah beruntungnya mereka kalau sekiranya mereka memperoleh rahmat sebesar itu. Ingatlah, saudara-saudaraku terkasih, bukankah merupakan berkat bila kita diberi kesempatan untuk mencurahkan darah demi iman, demi kasih Yesus Kristus. Serikat kita yang hina ini sungguh diberkati sekiranya diberi kehormatan untuk mempersembahkan dua orang putranya yang pertama, bukan saja demi kerasulan, bukan juga sebagai saksi cinta kasih semata-mata, melainkan juga dengan darah mereka. Sungguh berbahagialah Serikat kita bila awal sejarahnya dibentuk dengan darah kemartiran.”
            Sesungguhnya bukanlah fanatisme yang mendorong Conforti berbicara demikian. Kata-katanya tentu saja mencerminkan iklim kerohanian pada masa itu; tetapi kata-kata itu juga menunjukkan iman yang dalam, iman yang meredakan tetapi bukan menghapuskan kepedihan dan kecemasan yang ia rasakan terhadap kedua saudaranya, yang dikasihinya “dengan segala kelembutan cinta kasih Kristus, yang lebih dalam dan lebih langgeng daripada kasih sayang manusiawi.”
            Masa itu memang merupakan masa penuh cobaan, dan lebih menyedihkan lagi baginya karena kematian ibunya pada tanggal 4 Februari 1900. Kerisauannya terus berlanjut sampai bulan Desember, ketika akhirnya ada berita yang diterima. Manini berhasil melarikan diri bersama seorang imam Fransiskan dengan menurunkan diri lewat tembok kota pada malam hari dengan keranjang. Rastelli, yang mendapat peringatan pada waktunya, mencari perlindungan di Mongolia. “Terpujilah Allah”, tulis Conforti, kepada mereka, “terpujilah Allah yang telah memelihara kalian selama konflik berdarah ini dan kehancuran total misi kalian…. Terpujilah Tuhan yang tidak pernah membiarkan kita diuji melebihi kekuatan kita. Serikat yang hina ini, yang memandang kalian sebagai buah-buahnya yang pertama, bergembira karena mengetahui bahwa kalian aman, dan kegembiraan itu dirasakan juga oleh seluruh umat keuskupan yang dengan cemas mengikuti segala kejadian di Cina.”
            Tetapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Pada tanggal 28 Februari 1901, hanya beberapa bulan setelah tibanya berita yang membesarkan hati tentang keamanan mereka, datanglah kabar bahwa Pater Ciao Rastelli, karena kehabisan tenaga dalam usaha melarikan diri dan karena penderitaan yang ditanggungnya selama berbulan-bulan yang mengerikan itu, terserang penyakit tifus dan tidak pernah sembuh kembali. Ia mencapai usia dua puluh delapan tahun. Ini merupakan pukulan yang pukulan yang hebat terhadap harapan dan cita-cita Conforti. Dengan pemanggilan diakon  Odoardo Manini supaya kembali, berakhirlah sejarah misi di Cina, setidak-tidaknyauntuk sementara bagi serikat Xaverian. 

 
Bersambung…

Selasa, 29 Maret 2011

Kekisruhan Melanda Cina


Sekitar tahun 1840-an, orang Eropa menggusarkan orang Cina karena merampas wilayah-wilayah tertentu Cina. Semuanya bermula dari apa yang dinamakan “Perang Candu”, yang dilancarkan oleh Inggris, yang mengakibatkan lahirnya Perjanjian Nanking. Dengan perjanjian ini, Cina dipaksa membuka pelabuhannya di Canton, Amou, Foochow, Nigpow dan Shanghai untuk perdagangan, sedangkan Hong Kong diserahkan kepada Inggris. Menyusullah perjanjian-perjanjian lain yang merupakan usaha bangsa-bangsa Barat untuk memperoleh keuntungan lebih jauh lagi –dan wilayah baru – dari Cina. Sementara kekuatan-kekuatan ini, dengan pukulan-pukulan mereka dari luar, memperlemah prestise Dinasti Manchu dan struktus kekaisaran, suatu pemberontakan mengancam pemerintahan Manchu dari dalam. Karena tidak puas terhadap cara Manchu menangani urusan politik Cina, dan sebagai reaksi terhadap perjanjian-perjanjian dengan pihak asing itu, meletuslah pemberontakan Taiping (1850-1864), yang disusul oleh kekacauan-kekacauan lebih jauh lagi di dalam negeri.
            Kebencian mendalam terhadap orang asing menyebar luas, juga terhadap para misonaris sekalipun. Hal ini disusul oleh munculnya usaha pada akhir abad ke-19 untuk mengusir orang asing sekali untuk seterusnya. Menghadapi pergolakan yang kian meningkat, partai-partai yang berkuasa di Cina memerintahkan pembentukan kembali satuan-satuan milisi desa. Banyak biang onar di desa-desa bergabung ke dalam kelompok milisi dan diberbagai tempat terbentuklah kelompok-kelompok bawah tanah. Anggota kelompok semacam itu melakukan upacara-upacara yang menurut kepercayaan mereka dapat membuat mereka kebal terhadap peluru. Kelompok pemberontak ini kemudian dikenal oelh orang-orang asing sebagai ‘Kaum Boxer’, berarti: Tinju Keselarasan yang Adil. Pada musim gugur tahun 1899 kaum Boxer mulai menganiaya orang Kristen yang mereka anggap sebagai “warga negara kelas dua dan setan asing.”
            Sejak awal pemberontakan para misionaris sudah merasakan dahsyatnya amukan kaum pemberontak dan beberapa dari mereka terbunuh, antara lain Uskup Grassi dan Fogolla, tujuh orang suster Fransiskanes Maria, dua orang imam Fransiskan dan banyak orang Cina Kristen. Beberapa orang berhasil melarikan diri pada waktunya. Tetapi sahabat-sahabat misi di Italia tidak memperoleh berita yang dapat dipercaya mengenai situasi yang sebenarnya, sehingga mereka menjadi cemas akan nasib dan keamanan kedua anggota Xaverian itu. Pada awal Juli berita dari Shanghai bahwa suatu pemberontakan telah terjadi di Cina diterima di berbagai bagian dunia lainnya. Namun, meskipun peristiwa yang terjadi di Tai-yuang-fu dan Beijing memang diberitakan, tidak ada rincian lebih lanjut.
Bersambung…


Senin, 28 Maret 2011

Suka-Duka Seorang Misionaris


Perjalanan mereka yang sulit dan berbahaya itu memakan waktu dua bulan penuh. Mereka tiba di kota Tai-yuan-fu di Provinsi Shan-Si pada bulan Mei. Diantar oleh Uskup Fogolla, mereka disambut dengan ramah dan kasih sayang oleh Vikaris Apostolik, Uskup Grassi. Selanjutnya, selama berbulan-bulan kedua pendatang baru itu berusaha keras dengan menghabiskan sebagian besar waktu mereka tiap hari untuk mempelajari naskah-naskah dan kamus Cina yang sukar dan rumit itu. Kemajuan Manini lebih lambat bila dibandingkan dengan Rastelli.
            Sesudah menjalani masa penyesuaian yang agak panjang, membosankan dan menuntun ketekunan terhadap kebudayaan dan adat-istiadat Cina, tidaklah mengherankan bahwa Rastelli dipandangn sebagai orang pertama yang siap memulai karya kerasulan di sebuah desa kecil di pegunungan. Siapa pun akan terharu bila membaca suratnya kepada Conforti yang menceritakan penugasannya:”Vikaris Apostolik memberitahukan kepada dengan jelas tentang penderitaan yang akan saya alami; bahwasannya iklim dan makanan akan memperlemah badan saya, bahwa saya akan mengalami kegelisahan dan kecemasan. Tetapi apa boleh buat! Pada akhirnya saya berangkat ke Surga!” Surat-surat yang lain memberikan penghiburan kepada Conforti dan dorongan besar kepada orang-orang muda  yang tinggal bersama dia. Sama sekali tidak mereka duga bahwa kata-kata Rastelli tentang penderitaan itu akan segera menjadi kenyataan. Awan kelam datang membayangi Cina dan menjadi pertanda bahwa akan segera terjadi badai yang dahsyat.
Bersambung…

Rabu, 23 Maret 2011

CINA TUJUANNYA


Pada bulan Maret 1898 seorang Misionaris dari Cina, Uskup Francesco Fogolla, tiba di Biara Fransiskan dari Annunziata di Parma. Bersama dia terdapat lima orang pemuda Cina yang gaya dan daya tarik mereka sebagai orang Timur menarik perhatian setiap orang. Fogolla sendiri, yang berjanggut putih panjang dan berperawakan anggun, dengan perilakunya yang lemah lembut dan kisah-kisah petualangan kerasulannya di Cina, segera saja memikat perhatian dan gairah siswa-siswa muda seminari Conforti. Sedemikian hebatnya ia merangsang imajinasi mereka dan membangkitkan semangat petualangan mereka, sehingga bahkan Pater Caio Rastelli dan diakon Odoardo manini mengajukan permohonan  untuk dikirim ke Cina.
Permohonan mereka mungkin dipandang sebagai dorongan gairah belaka, dan karena itu, lebih baik diabaikan saja. Bagaiamana conforti dapat mengurus seminarinya tanpa bantuan imam satu-satunya yang ia miliki, yang bukan sekedar seorang pendukung pribadi baginya melainkan juga pemimpin komunitasnya yang kecil itu? Tambahan pula, bukankah suatu resiko besar mengirim seorang muda seperti Manini ke tempat yang begitu jauh dan ke negara yang penuh dengan bahaya? Dan bukan itu saja, apakah gerangan konsekuensi-konsekuensinya mengizinkan para misionarisnya bekerja pada seorang uskup lain di dalam wilayahnya? Bukankah ini nantinya dapat menyebabkan Serikat itu melepaskan tuntutan untuk memiliki wilayah misi sendiri di masa mendatang?
Conforti bergumul dengan keberatan-keberatan ini. Semuanya itu membebani pikiran dan hatinya. Tetapi sedikit demi sedikit pertimbangan-pertimbangan lain menjadi lebih kuat. Tidak mungkinkah melihat di dalam peristiwa-peristiwa ini Penyelenggaraan Ilahi yang menuntun putra-putranya ke Cina, yang begitu dirindukan oleh Santo Fransiskus Xaverius pada saat-saat menjelang ajalnya? Bagaimana pula dengan kesempatan yang ada untuk mempercayakan para misionarisnya kepada Gregorio grassi, rekan kerja Fogolla, seorang uskup misionaris yang suci dan Vikaris Apostolik Provinsi Shan-Si selatan? Akan adakah kesempatan lain yang lebih baik? Kedua uskup ini pastilah akan mengurus mereka dengan perhatian seorang bapa dan bila tiba waktunya yang tepat mungkin akan memberikan kepada mereka wilayah sendiri. Pertimbangan-pertimbangan tersebut, ditambah desakan kedua anggotanya, mendorong Conforti untuk membicarakan perkara itu dengan Kardinal Prefek Kongregasi Suci untuk Penyebaran Iman. Mula-mula beliau agak enggan, tetapi akhirnya menyetujuinya juga. Ketika Serikat itu ditingkatkan statusnya menjadi sebuah serikat misionaris religius diosesan oleh Ukup magani pada tanggal 3 Desember 1898, kedua calon misionaris itu mengikrarkan kaul kemiskinan, kemurnian, ketaatan disertai janji untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada karya misi. Sejak hari itu serikat ini dikenal secara resmi sebagai “Serikat Misionaris Santo Fransiskus Xaverius untuk karya Misi di Luar Negeri.”
Beberapa bulan kemudian, pada tanggal 4 Maret 1899, kepada kedua misionaris yang akan berangkat itu diserahi salib missioner sebagai lambang perutusan mereka kepada rakyat Cina. Upacara yang mengandung saat-saat yang mengharukan itu dihadiri banyak orang. Itulah pertama kalinya kota Parma melepaskan putra-putranya yang berangkat ke negeri yang misterius dan berbahaya di kawasan Timur. Dengan perasaan rindu bercampur gairah akan petualangan, rombongan pertama ‘rajawali-rajawali muda Injil’ itu bertolak menuju Cina.


Bersambung…

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cna certification